Selama 40 tahun terakhir, penggunaan
antibiotik secara serampangan menjadi masalah di Indonesia. Perlu langkah tegas
dan serius agar dampak resistensi antibiotik tidak semakin menyebar.
”Pemerintah perlu lebih tegas mengatur penggunaan dan peredaran antibiotik,” kata Ketua Departemen Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Anis Karuniawati dalam temu media jelang simposium Indonesia Antimicrobial Resistance Watch yang ke-8 di Jakarta, Kamis (14/2).
”Pemerintah perlu lebih tegas mengatur penggunaan dan peredaran antibiotik,” kata Ketua Departemen Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Anis Karuniawati dalam temu media jelang simposium Indonesia Antimicrobial Resistance Watch yang ke-8 di Jakarta, Kamis (14/2).
Meski termasuk obat keras, antibiotik
dijual bebas tanpa resep dokter di apotek dan toko obat. Dokter sering kali
memberikan antibiotik tanpa mengecek jenis kuman melalui uji laboratorium. Sebagian
masyarakat biasa membeli dan mengonsumsi antibiotik untuk mengobati sendiri
penyakit.
Menurut Anis, dokter berhak meresepkan antibiotik untuk mengobati infeksi. ”Pengecekan laboratorium biasanya baru dilakukan jika antibiotik tidak memberi dampak,” katanya.
Perhatian serupa perlu diberikan terhadap penggunaan antimikroba, obat pembunuh mikroba yang lebih luas dari antibiotik (zat yang dihasilkan mikroba untuk membasmi mikroba lain). Resistensi juga meningkatkan jumlah pasien di rumah sakit dan potensi pandemik mikroba yang resisten.
Menurut Anis, dokter berhak meresepkan antibiotik untuk mengobati infeksi. ”Pengecekan laboratorium biasanya baru dilakukan jika antibiotik tidak memberi dampak,” katanya.
Perhatian serupa perlu diberikan terhadap penggunaan antimikroba, obat pembunuh mikroba yang lebih luas dari antibiotik (zat yang dihasilkan mikroba untuk membasmi mikroba lain). Resistensi juga meningkatkan jumlah pasien di rumah sakit dan potensi pandemik mikroba yang resisten.